“Budaya Indonesia pada dasarnya sarat dengan kekerasan, dan militer adalah cerminan masyarakat belaka. Contohnya bisa dilihat di Maluku…. Sebenarnya tidak sepenuhnya tepat saya mengemukakan ini, terutama sebagai orang Indonesia yang berbicara di depan banyak orang asing, tetapi, suka atau tidak suka, secara umum budaya di Indonesia adalah budaya kekerasan antara suku dan kelompok etnis. Masyarakat Indonesia bisa dengan cepat menggunakan kekerasan. Kata “amok” dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa persatuan negara kepulauan ini. Ini adalah sesuatu yang kita sadari, sesuatu yang tidak kita suka, dan sesuatu yang kita ingin perhatikan, kendalikan, dan kelola. Tetapi kekerasan memang ada: perkelahian antar keluarga, antar desa, antar suku, antar kelompok etnis, dan ujungnya antar agama.”
Itulah pandangan Letjen TNI (Purn). Prabowo Subianto dalam sebuah panel bertajuk “Separatisme di Indonesia” pada bulan April tahun 2001.
Sebuah peristiwa memiriskan terjadi di awal tahun 2004 di bumi Nyiur Melambai. Pertikaian antar desa yang melibatkan dua desa meledak di kabupaten Bolaang Mongondow yakni antara desa Imandi dan Tambun. Sebegitu sadisnya peristiwa yang menewaskan enam warga itu sehingga stasiun televisi SCTV menayangkannya sebagai headline pada liputan enam siang dengan wawancara khusus dengan Kapolda Sulut Brigjen Pol. John Lalo.
Seperti umumnya pertikaian antar desa di Sulut, yang selalu menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa yang salah? Sapa yang lebe dulu? Berapa yang mati di kubu penyerang dan yang diserang? Dan pihak pemerintah ikut-ikutan menyudutkan para pelaku. Atau lebih parah mengkambing-hitamkan penyebab-penyebab yang jelas-jelas bukan kambing seperti cap tikus, judi dan beragam penyakit masyarakat lain.
Salah satu kelemahan kita dalam menyikapi peristiwa seperti ini adalah kita selalu melihat ujung dari kejadian dan berusaha memangkas pucuk-pucuknya saja. Tanpa pernah mencoba mengenali bahwa budaya kekerasan massa (mob violence) sebenarnya telah mengakar di tengah masyarakat kita.
Jika kita mengurut ke belakang. Konflik antara desa Imandi dan Tambun sesungguhnya telah menjadi lumrah (dan itu ironis). Kita mungkin ingat pertikaian antara desa Poopo dan Pontak di Motoling lebih satu dekade yang lalu, atau antara Tompaso Baru dan Torout yang memaksa sebagian penduduk Torout mengungsi, kemudian antara Tompaso Baru dan Tewasen, kemudian pertikaian antara desa Tangkuney dan Timbukar yang semula “mesra dan adem ayem” itu, Lorong Perintis versus Lorong Majalah di Manado, Tumani lawan Pinaesaan, dan yang paling anyar adalah konflik perebutan lahan pencarian antara dua desa di Sangir.
Mungkin kita harus berbangga dengan kedamaian yang tercipta di Sulawesi-Utara, kerukunan yang kesolidannya luar biasa. Tapi dari rekaman sejarah yang ada, saya rasa kita harus malu. Mencermati berita-berita di harian kriminal lokal seperti Metro dan Posko. Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa Sulawesi Utara khususnya Minahasa sesungguhnya adalah suatu budaya penuh kekerasan (a violent culture).
Mengapa Minahasa? Dilihat dari skala kejadian, para pelaku dan lokasi peristiwa kriminal dan kekerasan itu, umumnya berasal atau berada di wilayah Minahasa. Dalam tulisan saya dahulu di harian ini saya sempat mengatakan bahwa di Minahasa berlaku aturan bahwa tidak ada satu pun individu yang takluk kepada individu yang lain. Harus diakui, suka atau tidak, orang Minahasa moderen itu sekarang arogan dan pongah. “sapa ngana sapa kita?”, “baku abis jo!”, “Kiapa so?”, “Sei re’en?” Itulah ungkapan-ungkapan yang bisa dikonotasikan “cari hal”.
Telah terjadi degradasi dalam cara berpikir orang Minahasa yang semula rasional (lebih mengutamakan akal) menjadi emosional (lebih mengutamakan hati dan perasaan). Dari warisan budaya yang ada, suku Minahasa memiliki aliran darah kekerasan yang kuat. Ini bisa ditilik dari peninggalan seni budaya yang tersisa seperti tari Kabasaran (tari perang). Juga semboyan masyarakat Minahasa yang malah dijadikan lambang pemerintahan yakni i yayat u santi (yang secara harafiah bisa diartikan, “acungkan pedang!”), dan istilah-istilah seperti Waraney (panglima perang) dan Tonaas (pemimpin). Simbol yang digunakan pada patung-patung adat yang dibangun di kota-kota pun ditampilkan bersama sebilah sabel (parang) lengkap dengan atribut perang. Tapi apakah itu menjadi dasar satu-satunya untuk memvonis bahwa masyarakat Minahasa itu kejam? Tidak!
Dalam bukunya tentang Minahasa, N. Graafland seorang penulis sekaligus penginjil asal Belanda yang masuk ke Minahasa pada tahun 1860-an menyatakan bahwa orang Minahasa pada dasarnya penakut. Mereka tidak frontal dan perlu gesekan-gesekan terlebih dahulu baru kemudian baku hantam. Dan ketika mereka murka maka tidak satupun yang bisa mengendalikannya. Lantas setelah seratus lima puluh tahun lebih, mengapa masyarakat Minahasa itu tiba-tiba menjadi “kelewat” berani?
Jawabannya adalah Kebohongan! Kita selalu memanipulir tentang perfoma ekonomi orang Minahasa, sehingga orang Minahasa selalu digembar-gemborkan kaya dan sejahtera. Kita gengsi dan tidak mau berterus-terang akan kelemahan kita. Padahal kalau kita melihat betapa bibit kekerasan telah bersemai akibat ketimpangan ekonomi. Naluri untuk mencari kehidupan lebih baik membuat sebagian masyarakat Minahasa bermigrasi ke daerah Bolaang Mongondow dan wilayah subur lainnya. Dan keinginan menjadi kaya membuat putra-putra Minahasa tertarik menjadi penambang liar dengan harapan kelak “ta dumpul” (menemukan emas dalam jumlah besar).
Di penambangan emas liar, standar (grade) emas tidak selalu sama. Ada galian yang berstandar tinggi dan rendah. Galian yang berstandar tinggi ini kemudian memicu keserakahan untuk dikuasai, akibatnya hukum rimba berlaku, siapa yang kuat dia yang menang. Alhasil, berkelebatlah samurai dan panah wayer. Korban bertumbangan dan darah menjadi cairan yang biasa. Ada pengakuan dari seseorang yang pernah terlibat baku potong di tambang liar kepada saya bahwa ia merasa adrenalinnya mengalir deras dan semangatnya menyala ketika mencium bau darah yang mengalir di tanah pertambangan. Wiih... sadisnya.
Keinginan mencari penghidupan lebih baik yang melahirkan budaya kekerasan melalui penambangan emas itu bahkan sudah tergolong amat berani. Beberapa orang Minahasa bahkan nekad ekspansi ke propinsi lain. Dan memilukan, di awal tahun 2004 ini, salah seorang warga sulut yang juga berasal dari desa Imandi yakni Rusly Tungkagy tewas tertembus peluru aparat dalam demonstrasi bersama masyarakat setempat menentang operasi perusahaan di lokasi penambangan emas milik PT. Nusa Halmahera Minerals (Newcrest Australia).
Kondisi ini diperparah dengan paradigma masyarakat Minahasa yang telah menggondol sarjana tapi tidak memiliki daya saing. Mereka cenderung memilih tinggal di kampung halaman dengan harapan kelak menjadi pegawai negeri. Mereka kemudian menciptakan beban baru dan merampok peran rakyat yang lain. Minimnya daya saing itu mengakibatkan terciptanya instabilitas sosial pada saat ekonomi sulawesi utara goyah. Kita pun merengek-rengek meminta cengkih dinaikkan, dsb.
Di pihak lain, pemerintah yang sebenarnya harus serius menyediakan lapangan kerja malah sibuk dengan po’ot-nya sendiri. Para petani cap tikus di uber-uber sampai ke hutan. Tanpa ada solusi yang jelas untuk mengganti sumber penghidupan mereka. Buntutnya, mereka pun stress dan akhirnya cari cap tikus juga buat melepas stress. Setelah mabuk mereka pun mudah terpancing. Maka terjadilah adegan laksana sinetron angling darma.
Para politisi sibuk verifikasi, uji faktual dan nomor caleg. Judi dilegalkan dengan cara malu-malu, dan tokoh-tokoh agama asyik dengan kegiatan seremonial di ruangan ber-ac. Rakyat makin susah dan kekerasan kemudian lambat-laun menjadi budaya yang mengakar.
Perangkat hukum juga memiliki andil cukup besar dalam pembentukan budaya kekerasan di masyarakat Minahasa. Terkatung-katungnya penyelesaian banyak kasus, dan lebih berpihaknya hukum kepada kaum kapitalis membuat mereka memilih menempuh extra-judicial dengan jalan main hakim sendiri. Masyarakat ragu akan supremasi hukum. Dan bukan rahasia lagi bahwa banyak kasus penikaman dan pembunuhan lebih khusus di wilayah pertambangan tidak terselesaikan sehingga para pelaku lantas merasa besar kepala dan menganggap diri jagoan dan melakukan lagi berulang-ulang. Penggunaan istilah Mister X, adalah salah satu bukti nyata tidak jalannya supremasi hukum.
Keluarga si korban lalu menyimpan dendam dan lebih memilih tidak melaporkan ke yang berwajib “biar jo torang cari sandiri”, kata mereka. Lebih parah lagi, telah ada dalam pikiran masyarakat Minahasa bahwa kekerasan yang dilakukan bergerombol akan lebih sulit tersentuh hukum. Menurut Lewis Coser, kekerasan menjadi indikasi yang paling jelas bahwa dalam sistem politik, ekonomi, sosial dan hukum, terdapat masalah-masalah mendasar yang harus diperbaiki.
Masyarakat Minahasa moderen relatif temperamental dan tidak mau kalah. Sangat sulit merubah karakter manusia apabila itu telah terbentuk atau telah menjadi budaya. Adanya paralelitas antara faktor ekonomi, sosial, budaya dan hukum membuat kita harus sadar bahwa peristiwa antara desa Imandi dan Tambun itu, tidak terjadi begitu saja. Menurut Frans Magnis Suseno, apabila dalam suatu masyarakat intensitas kekerasan bertambah, berarti masyarakat itu sedang sakit. Kondisi inilah yang sedang terjadi di bumi Sulawesi Utara lebih khusus Minahasa.
Konfrontasi antar desa, lorong atau kampung ini jika dirunut, mulai marak sejak akhir tahun 1980-an. Di mana saat itu orde baru masih berkuasa dan tambang-tambang emas tradisional perlahan ditemukan lalu menjadi trend. Pada saat terjadi goncangan sosial dan ekonomi di Indonesia, sulawesi utara khususnya Minahasa tetap tegar. Sama sekali tidak terinfeksi oleh sikap kekerasan massa yang ramai terjadi. Di saat masyarakat sulut berdiam diri. Dan mestinya memperoleh apresiasi yang tinggi dari pemerintah, justru beban hidup dan sosial makin berat akibat dijadikannya sulut dalam hal ini Minahasa sebagai lokasi pengungsian konflik Poso, Ambon serta Ternate.
Ada kecemburuan pernah timbul di masyarakat sulut khususnya Minahasa perihal perhatian pemerintah yang lebih istimewa kepada pengungsi (bahkan diberikan tanah segala). Beberapa pengungsi secara herois menceritakan pengalaman saat bertempur kepada masyarakat kita yang perlahan termakan. Akhirnya para remaja yang relatif memiliki hormon asli Minahasa yang masih kuat lambat-laun terjangkit rumor-rumor yang patogenik itu. Hal ini rupanya tidak diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah sulawesi utara.
Indikator bahwa kita mulai terpengaruh dengan budaya luar dan termakan dengan isu-isu (dan konon ada sinyalemen diskema seperti itu oleh pihak tertentu), adalah terbentuknya kelompok pemuda berbau paramiliter seperti Legium Christum (LC), Milisi Waraney dan Brigade Manguni (BM). Terlepas dari keberadaan organisasi itu sebagai antisipasi kewaspadaan kita menghadapi bahaya dari luar. Tapi jelas terbaca bahwa kita mulai frustasi dan tidak percaya lagi pada sistem. Dan budaya kekerasan yang telah mendarah daging lewat waraney dan tonaas secara gradual dan diluar kontrol kembali berkobar. Sehingga bisa dikata bahwa telah terjadi perjodohan yang serasi. Kekerasan yang membudaya di sulawesi utara khususnya Minahasa bangkit kembali oleh akumulasi rasa kecewa, jengkel, kesal, marah, benci, dendam, perasaan tidak diperlakukan adil, dan kesewenang-wenangan.
Peristiwa antara desa Imandi dan Tambun sudah harus dijadikan pijakan bagi kita agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. Kita harus sadar bahwa ada api dalam sekam yang sedang bersemayam ditengah-tengah masyarakat kita. Dalam skala besar, kerusuhan massal di Jakarta pada tahun 1998 adalah contoh nyata yang layak dipelajari. Bahwa kekecewaan sosial tidak boleh dipelihara dan terakumulasi apalagi dibiarkan begitu saja. Dan ini merupakan tanggung jawab semua komponen dan elemen masyarakat sulut karena kita semua kelak yang rugi. Dalam pandangan saya, gejala politik, ekonomi, sosial maupun budaya di sulut saat ini telah mengarah kepada The New Orde Baru. Jarak interaksi sosial makin jauh, dan itu buruk. Terbukti dengan mulai banyaknya masyarakat dari kelas mampu mulai membangun pagar rumah yang tinggi-tinggi.
Disinilah peran lembaga adat Minahasa untuk pro-aktif mengantisipasinya, dan tidak semata untuk gagah-gagahan apalagi terbalut interes politik. Ini masalah budaya dan orientasi sosial yang perannya sangat krusial. Ketika saya hadir dalam Kongres Adat Minahasa di penghujung tahun 2003 lalu, belum sama sekali terlihat bahwa konflik seperti ini menjadi poin serius yang harus dibahas. Kembali kita hanya memangkas pucuk-pucuknya saja.
Pemerintah dan legislatif juga harus jujur dan lebih serius menyikapinya. Jangan cuma sibuk urus po’ot dan partai. Ekonomi mesti menjadi perhatian utama, berbagai ketimpangan sosial yang terjadi akibat gesekan, pola pikir dan kepentingan, seyogianya diatasi dengan tetap mengedepankan dan menyesuaikan dengan budaya dan karakter masyarakat kita. Tokoh agama dituntut tidak sekedar hadir pada acara seremonial tapi turun dan berbaur dengan masyarakat melalui program yang jelas. Tidak cuma berkoar-koar tentang makna kasih tapi hasilnya nol besar. Perangkat hukum diminta lebih tegas dalam menegakan supremasi hukum.
Tidak hanya saya, tapi seluruh masyarakat sulawesi utara tentunya mengharapkan damai yang tercipta di bumi nyiur melambai adalah damai yang hakiki. Kita merindukan keluar rumah dengan aman dan tenang. Tapi kenyataannya, di segala bilik kehidupan, bahaya mulai mengintai di mana-mana. Apakah kita mau hidup seperti itu? Saya juga tidak. Marilah kita semua merenung dan sadar, apalah artinya kekuasaan tanpa ketenangan, apalah artinya popularitas tanpa kedamaian, apalah artinya kekayaan jika kita dincar dimana-mana. Semoga damai yang sesungguhnya benar-benar tercipta di bumi nyiur melambai yang aku kasihi ini.
God Bless Sulut, Peace !
Penulis adalah Generasi Muda Minahasa